Destinasi Wisata Religi di Banda Aceh Ini Punya Daya Tarik Tersendiri, Simak Ulasannya Disini

Destinasi Wisata Religi di Banda Aceh Ini Punya Daya Tarik Tersendiri, Simak Ulasannya Disini

Sun, 23 Jun 2019 - 02:22 PM

Sebagai kota Islam paling tua di Asia Tenggara, jejak sejarah peradaban Islam melingkupi hampir setiap sudut kota yang menjadi ibukota Provinsi Aceh ini. Tidak heran jika destinasi wisata religi Islami cukup banyak dan dapat ditemui dengan mudah di sini, baik wisata Islami yang bermuatan nilai sejarah maupun yang umurnya masih terbilang muda.

Bagi para pelancong yang kebetulan menjejakkan kaki di bumi “Serambi Makkah” ini, rasanya kurang afdol sebelum berkunjung ke objek-objek wisata religi tersebut, karena Pemerintah Kota Banda Aceh telah mencanangkan diri sebagai tujuan wisata Islami di dunia dengan menggandeng Pasific Asia Travel Association.

Inilah beberapa objek wisata religi Islami yang ditawarkan Kota Banda Aceh.

1.    Masjid Raya Baiturrahman


Dibangun pada era Kesultanan Aceh yaitu pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Johan Mahmudsyah tahun 1292 (sumber lain menyebutkan dibangun tahun 1612 pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda) membuat masjid ini menjadi saksi bisu sejarah perkembangan Aceh dari masa ke masa.

Saat Koetaradja (Banda Aceh) dibumihanguskan oleh Belanda pada 10 April 1873, masjid ini hancur sehingga mengobarkan perlawanan masyarakat Aceh dan membuat salah satu pimpinan Belanda, Major General Johan Harmen Rudolf Kohler meninggal dalam pertempuran.

Untuk meredam kemarahan masyarakat Aceh, Belanda membangun ulang Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 1879 – 1881 dengan arsitek de Bruchi yang mengangkat gaya Moghul (India) untuk desain bangunan. Masjid ini selanjutnya mengalami beberapa kali perluasan dan penambahan unsur bangunan, yaitu pada tahun 1936, 1958, 1965 dan 1992 sehingga luas area masjid mencapai 16.070 meter2.

Pada saat terjadi gelombang Tsunami, 26 Desember 2004, hampir seluruh bangunan di pesisir Aceh hancur diterjang air setinggi 21 meter. Namun masjid ini tetap berdiri kokoh dan hanya mengalami kerusakan ringan pada beberapa bagian masjid.

Berkat bantuan dunia internasional, pada 15 Januari 2008, dilakukan upaya renovasi yang menelan dana sekitar Rp.20 miliar. Setelah dilakukan renovasi, Masjis Raya Baiturrahman pun menjadi semakin bertambah megah dan indah. Masjid juga tidak lagi hanya sebatas dipakai sebagai tempat beribadah, tapi juga dijadikan sebagai pusat pengembangan aktivitas keislaman.

2.    Makam Sultan Iskandar Muda


Makam dari Sultan yang membawa Aceh berada pada puncak kejayaannya, bahkan berada di urutan lima besar kerajaan-kerajaan Islam di dunia ini berlokasi di Kelurahan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh yang bersebelahan dengan kediaman resmi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam dan Museum Aceh.

Kebesaran Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda diakui oleh dunia sehingga pelabuhannya menjadi bandar perniagaan internasional serta jadi tempat persinggahan kapal-kapal dari mancanegara yang membawa hasil bumi dari kawasan Asia Tenggara untuk dibawa ke Eropa dan Timur Tengah.

Ekspedisi Angkatan Laut yang dilakukan Iskandar Muda berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan di Pantai Timur Semenanjung Melayu hingga Penang dan membuat pedagang asing bertekuk lutut sehingga Kesultanan Acehpun menjadi kerajaan yang makmur dan kaya sekaligus menjadi pusat ilmu pengetahuan.

3.    Makam Syiah Kuala


Selain Masjid Raya Baiturrahman, bangunan lainnya yang tetap kokoh berdiri saat bencana Tsunami menghantam pesisir Aceh adalah Makam Syiah Kuala. Itu sebabnya kesan mistik dan sakral menyelimuti areal pemakaman ini.

Puluhan bahkan ratusan peziarah setiap hari mengunjungi makam ini, sebagian ada yang mempercayai bahwa dengan berdzikir dan berdoa di area pemakaman, maka apapun yang diinginkan akan dapat terwujud. Air yang sebenarnya digunakan untuk berwudlu sebelum memasuki area pemakaman, juga dipercaya mendatangkan kesembuhan, meski pihak pengelola sudah mengingatkan bahwa air tersebut sebenarnya sama saja dengan air yang ada
Di tempat-tempat lain.

Makam Syiah Kuala yang berada di Gampung Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh, sebenarnya adalah makam seorang ulama termasyhur di Aceh pada masa itu, yaitu Abdulrauf bin Ali Alfansauri yang juga dikenal dengan sebutan Teungku Syiah Kuala.

Ulama karismatik ini memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di Sumatera bahkan Nusantara, itu sebabnya diabadikan sebagai nama salah satu kecamatan di Kota Banda Aceh dan nama Perguruan Tinggi yang ada di Banda Aceh yaitu Universitas Syiah Kuala.

4.    Mesjid Teungku Di Anjong


Berlokasi di Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kuta Radja, Kota Banda Aceh, masjid yang memiliki bangunan bergaya arsitektur Jawa ini menjadi bagian dari sejarah panjang Aceh karena dibangun pada abad XVIII. Pendirinya adalah seorang pedagang Arab yang juga menyebarkan agama Islam, yaitu Sayyid Abu Bakar bin Husein Bafaqih yang kemudian mendapat gelar karamah Teungku Chik Di Anjong.

Setelah meninggal, nama Teungku Chik Di Anjong diabadikan menjadi nama masjid dan jasadnya disemayamkan di area kompleks masjid bersama dengan makam keluarganya serta para ulama pada masa itu.

Di sejumlah literatur disebutkan bahwa masjid ini pernah dipakai sebagai tempat untuk “bersumpah” oleh Teungku Umar saat hendak menyamar dengan bergabung bersama Tentara Belanda. Pekarangan masjid dahulu juga pernah dijadikan sebagai pondok pesantren dan menjadi tempat manasik haji bagi para jamaah yang datang dari seluruh pelosok tanah air.

Akibat gelombang Tsunami yang terjadi pada 25 Desember 2004, Masjid Teungku Di Ajong lenyap karena lokasi masjid memang hanya berjarak sekitar 2,5 meter dari bibir pantai. Gelombang Tsunami tersebut tidak hanya menghancurkan bangunan masjid tapi juga kitab-kitab dan sejumlah barang peninggalan ulama.

Pasca Tsunami, Masjid Teungku Di Ajong dibangun kembali dengan tanpa merubah bentuk aslinya. Selain membangun kembali masjid, masyarakat juga mendirikan monumen di pelataran masjid untuk mengenang masyarakat Gampong Peulanggahan yang menjadi korban bencana Tsunami. (*)



by Abu Tholib

Share :